BAB 5 SEMESTER 1
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari
kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum.
Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan
kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan
bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga
merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada
hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang
tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang
yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh
anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum
Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah
Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang
diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata
“seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci
dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
A. Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan
secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An
Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap
muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di
dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti
segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat
manusia.
a. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu
ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
b. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar
orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
c. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat,
puasa, zakat dan haji.
d. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia
dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan
kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015
huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi
menjadi 3 (tiga) bagian:
a. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur
hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan
keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
b. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur
hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin
dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut
Ilmu Fiqih
c. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar
setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku –
perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:
a. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat,
puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan tuhannya.
b. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan
(muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian,
pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam
berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang
berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan
lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan
tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang
berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang
berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu
hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan
kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta
benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci
dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan
dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum
bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup peluang
bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam
(hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti
perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an
yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan
seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai
dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada
juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan
lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya
banyak sekali.
B. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk
menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad
SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an
onlines di google)
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al
Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh
perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan
akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap
dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan
budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua,
juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
تَرَكْتُفِيْكُمْاَمْرَيْنِمَاتَمَسَّكْتُمْبِهِمَالَنْتَضِلُّوْااَبَدًاكِتَابَاللهِوَسُنَّةُرَسُوْلِهِ
( رواههماممالك)
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian
tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah
dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua
fungsi sebagai berikut.
Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an,
sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal
yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi
perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an
onlines di google)
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga
berisi larangan berdusta.
1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al
Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat,
membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar.
Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat,
tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan
haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya.
Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging
babi. Firman Allah sebagai berikut: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…”
(QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak
dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits
menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan
belalang. Sabda Rasulullah SAW:
اُحِلَّتْلَنَامَيْتَتَانِوَدَمَانِ,
فَامَّاالْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُوَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ
: فَالْكَبِدُوَالطِّحَالِ
( رواهابنالماجهوالحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua
macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua
macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
2. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati
dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan
membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
طُهُوْرُاِنَاءِاَحَدِكُمْاِذَاوَلِغَفِيْهِالْكَلْبُاَنْيُغْسِلَسَبْعَمَرَّاتٍاَوْلَهِنَّبِالتُّرَابِ
( رواهمسلموهحمدوهبوداودوالبيهقى)
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah
dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah”
(HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai
berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi
yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak
janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang
dapat menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Makbul, adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat
yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits Makbul adalah Hadits
Shohih dan Hadits Hasan
3. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya,
dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk
hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu
berat atau tidak terlalu penting
4. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat
atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak
macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan
banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak
dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang
shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an
maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta
berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil
ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog
nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz
diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan
menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan
hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul
bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?”
Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi,
“seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”,
Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian,
Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah
mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa
syarat berikut ini:
1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang
bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk
menafsirkan Al Qur’an dan hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang
luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama
ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam
hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
اِذَاحَكَمَالْحَاكِمَفَاجْتَهَدَثُمَّاَصَابَفَلَهُاَجَرَانِوَاِذَاحَكَمَوَاجْتَهَدَثُمَّاَخْطَأَفَلَهُاَجْرٌ
( رواهالبخارىومسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara
melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua
pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad
dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat
sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat
tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal
ini Rasulullah SAW bersabda:
…اِخْتِلاَفِاُمَّتِيْرَحْمَةٌ
(رواهنصرالمقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa
rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara
ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan
orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah
SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan.
Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan
rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang
mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam
mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum
Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian
membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang
tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara
keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan
minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan
dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat
persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak
ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena
mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka
ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang
diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
• Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan
yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan
atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
• Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang
telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah
kedudukan dari hukum tersebut
• Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang
tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan
karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk
dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat
istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam
asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
• Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan
maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan
jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti
atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan
yang telah ditetapkan.
• Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan
manusia dalam perkembangan hidupnya
• Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk
mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.
D. Pembagian Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:
a. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika
perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat
pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa
b. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika
tidak dikerjakan tidak berdosa
c. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa
jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan
oleh nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya yang artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang
paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu
menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya
kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai
bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak
tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan
Tirmidzi)
d. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar
tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala
e. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula
ditinggalkan. Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan
qiyas. Sebagian ulama menambahkan yaitu istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab.
Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri atas
empat macam.
1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan
maksudnya menunjukkan kepada hukum itu
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan
oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib
shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela.
Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada
suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya
terhadap hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk
berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum
atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau
tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
اَلْبَيْعَانِبِالْخِيَارِمَالَمْيَتَفَرَّقاً
Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan
jual beli atau tidak selama keduanya belum berpisah
Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini mungkin
berpisah badan atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib
menyapu semua kepala atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:
Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS Al Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang
disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah.
مَااَنْهَرَالدَّمَوَذُكِرَاِسْمَاللهِعَلَيْهِ
Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan
padanya nama Allah.
3. Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun
zanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas
hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan
seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk
ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum
yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan
umat itu menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat.
Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT
menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul
mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin.
Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan
penelitian.
4. Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni,
dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu.
Seperti yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab.
Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang mujtahid. Pendapat menurut cara
yang sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan lingkungannya masing-masing
diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin
berubah dengan berubahnya keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid
dimasa kini atau sesduahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain.
Sebagaimana mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya.
Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan
tinjauan yang lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok
pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh
muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang-orang yang meminta
fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum diubahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar